Thursday, July 21, 2016

Pengertian Ij'ma' dan Qiyas Lengkap

Belajar Online : Pengertian Ijma' dan Qiyas

A.    Al-Ijma’
    
1.    Definisi
Dari segi kebahasaan, kata ijma’ mengandung dua arti. Pertama, bermakna “ketetapan hati terhadap sesuatu”. Pengertian ijma’ dalam konteks makna ini ditemukan, antara lain, ucapan Nabi Nuh as., kepada kaumnya, dalam surah Yunus (10): 71:
“Maka kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)”.
Kedua, ijma’ bermakna “kesepakatan terhadap sesuatu”. Ijma’ dalam pengertian ini ditemukan dalam surah ”. Ijma’ dalam pengertian ini ditemukan dalam surah Yusuf (12): 15:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi”.
Adapun ijma’ dalam pengertian terminologi ialah:
“Kesepakatan semua ulama mujtahid muslim dalam satu masa tertentu setelah wafatnya Rasululllah saw., yang berkaitan dengan hukum syara’”.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ijma’ mengandung beberapa unsur sebagai berikut.
a.    Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat islam (ulama).
b.    Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas.
c.    Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
d.    Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw.,.
e.    Yang disepakati itu adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah/peristiwa hukum tertentu.
2.    Rukun-Rukunnya
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’ itu ada empat:
a.    Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang. Karena kesepakatan itu tidak akan terwujud kalau pemikiran yang dikeluarkan itu jumlahnya tidak lebih dari seorang. Seluruh pendapat itu setuju terhadap keputusan yang diambil itu.
b.    Sepakat atas hukum syar’i, tentang suatu peristiwa. Seluruh Mujtahid Muslimin itu pada waktu terjadinya itu mengalihkan pandangan dari negerinya, atau bangsanya, atau golongannya.
c.    Ada kesepakatan itu dimulai. Tiap-tiap mereka itu mengeluarkan pendapat terang-terangan tentang suatu peristiwa. Sama saja, apakah dimulai oleh salah seorang dari mereka itu, berupa perkataan dalam berfatwa, atau dengan perbuatan diwaktu mengadili suatu peristiwa.
d.    Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum. Kalau kebanyakan mereka itu sepakat tidak akan mengadakan sidang, dengan kesepakatan secara ijma’, hal ini boleh di jalankan. 
3.    Kedudukan Ijma’ sebagai Hujjah
Jumhur ulama berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qathi’(pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Menurut jumhur ulama, dalil ijma’ sebagai hujjah yang pasti, didasarkan atas alasan-alasan sebagai berikut.
a.    Al-Qur’an surah An-Nisa’ (4): 115
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
b.    Firman Allah SWT., pada surat Al-Baqarah (2): 143
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu”.
c.    Firman Allah SWT., pada surat Ali Imran (3): 110
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.


Advertisment**
free SEO tools for blog and Website, Join For free now !
LinkCollider - Free SEO Tools Plus Social Media Sharing

4.    Pembagian Ijma’ dari Segi pembentukannya
Ijma’ sharih ialah adanya kesepakatan pendapat para mujtahid, di mana kesepakatan tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan atau perbuatan, mengenai hukum dari suatu masalah tertentu.
Ijma’ sukuti adanya sebagian ulama yang menyatakan pendapat mereka mengenai suatu masalah tertentu dan pada waktu tertentu pula, sementara sebagian ulama lainnya, setelah mengetahui pendapat ulama tersebut, mengambil sikap diam dan tidak menyatakan penolakan tersebut.
5.    Ijma’ Ditinjau dari Segi Macam-Macamnya
a.    Ijma’ Ahl al-Madinah (Kesepakatan Masyarakat Madinah)
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik ra.,. Menurutnya, ijma’ ahl al-madinah merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh kalangan sahabat atau tabi’in yang berada di Madinah.
b.    Ijma’ Ahl Haramain (Kesepakatan Masyarakat Makkah dan Madinah)
Sebagian ulama ushul berpendapat, kesepakatan masyarakat dari kedua wilayah Makkah dan Madinah merupakan hujjah.
c.    Ijma’ Ahl al-Mishrain (Kesepakatan Masyarakat Dua Kota (Basrah dan Kuffah))
Mereka yang berpendapat bahwa ijma’ ini juga merupakan hujjah, megemukakan alasan bahwa kedua kota ini merupakan konsentrasi domisisli para sahabat Rasulullah SAW., sedangkan ijma’ hanya dapat terbentuk khusus pada masa sahabat saja.
d.    Ijma’ asy-Syaikhan/Ijma’ al-Khalifatain (Kesepakatan Dua Khalifah (Abu Bakar dan Umar)
Berdasarkan hadits Nabi:
“Dari Huzaifah ra., bahwa Nabi saw., bersabda: “Turutilah dua orang setelah (wafat)-ku; Abu Bakr dan Umar”.
e.    Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah/al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Kesepakatan Khalifah yang Empat)
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah yang bernama al-Qadhi Abi Hazim, dan menurut satu riwayat, juga oleh Ahmad bin Hanbal.
f.    Ijma’ al-‘Itrah (Kesepakatan Ahl al-Bayt/Keluarga Nabi SAW.)
Pendapat ini dikemukakan oleh golongan Syi’ah al-Imamiyyah dan az-Zaidiyyah.
6.    Mustanad (Sandaran) Ijma’
Pertama, jumhur ulama berpendapat, setiap ijma’ harus memiliki mustanad, baik berupa dalil nashsh Al-Qur’an maupun sunnah, ataupun khabar ahad maupun qias.
Kedua, kelompok yang berpendapat, untuk terjadinya ijma’ tidak dipersyaratkan adanya mustanad.

B.    Qiyas
1.    Definisi
Kata qiyas secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan). Apabila orang Arab berkata qistu hadza bi dzaka, maka maksudnya, saya ini dengan itu. Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi qiyas yang dirumuskan ulama; sebagai berikut.
•    Menurut Ibnu as-Subki, qiyas adalah:
“Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illat hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya”.
•    Menurut al-Amidi, qiyas adalah:
“Keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illat hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestiaan terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang”.
•    Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas adalah:
“Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nashsh syara’ tentang hukumnya dengan sutau masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illat hukum”.
2.    Unsur-Unsur Qiyas
a.    Al-Ashl (Dasar; Pokok)
Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nashsh, baik nashsh tersebut berupa Al-Qur’an maupun sunnah.
Syarat-syarat:
1.    Al-Ashl tidak mansukh
2.    Hukum syara’
3.    Bukan hukum yang dikecualikan
b.    Al-Far’u (Cabang)
Masalah yang hendak diqiyas-kan yang tidak ada ketentuan nashsh yang menetapkan hukumnya.
Syarat-syarat:
1.    Sebelum diqiyas-kan tidak pernah ada nashsh lain yang mennetukan hukumnya.
2.    Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u.
3.    Tidak terdapat dalil qathi’ yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
4.    Hukum pada al-ashl bersifat sama dengan hukum pada al-far’u.
c.    Hukum Ashl
Hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nashsh tertentu, baik Al-Qur’an atau sunnah.
Syarat-syarat:
1.    Hukum ashal itu adalah hukum syara’, karena tujuannyadari qias syar’i adalah untuk mengetahui hukum syara’ pada furu’, baik dalam bentuk itsbat (adanya hukum) atau dalam bentuk nafi (tidak adanya hukum).
2.    Ditetapkan dengan nash, bukan dengan qias. Karena berarti hukum ashal itu pun pada mulanya merupakan furu’ dari qias yang lain (pertama kali).
3.    Hukum yang tetap berlaku; bukan hukum yang telah dinasakhkan, sehingga masih mungkin dengan hukum ashal itu membangun (menetapkan) hukum.
4.    Hukum ashal tidak menyimpang dari ketentuan qias, karena bila menyimpang dari ketentuan qias, maka tidak mungkin mengqiaskan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum ashal seperti itu tidak ada daya rentang.
5.    Hukum ashal harus disepakati oleh ulama;
6.    Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak menjangkau kepada furu’.
d.    ‘Illat
Suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat ini pula yang harus ada pada far’un.  Karena adanya ‘illah itulah yang menentukan adanya qias atau yang mennetukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain.
•    Bentuk-bentuk ‘illat
1.    Sifat haqiqi, dicapai oleh akal tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan).
2.    Sifat hissi, diamati dengan alat indera.
3.    Sifat ‘urfi, tidak dapat diukur tapi dapat dirasakan bersama.
4.    Sifat lughawi, dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa.
5.    Sifat syar’i, keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan suatu hukum.
6.    Murakkah, bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum.
•    Fungsi ‘illat
1.    Penyebab/penentap adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif, mu’assir atau ba’its.
2.    Penolak, yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illah tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3.    Pencabut, mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illah itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illah tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4.    Penolak dan pencabut, dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.

•    Syarat-syarat ‘illat
1.    Harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum, dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
2.    Suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3.    Harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya.
4.    Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat.
5.    Harus mempunyai daya rentang
6.    Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi ‘illat.
•    Masalik al-‘Illat
1.    Nash
a.    Nash sharih, lafaz-lafaz dalam nash yang secara jelas memberi petunjuk mengenai ‘illat dan tidak ada kemungkinan selain dari itu
b.    Nash zhahir, lafaz-lafaz yang secara lahir memang digunakan untuk menunjukkan ‘illah tetapi dapat pula berarti bukan untuk ‘illat. Dibagi menjadi 7:
2.    Ijma’, berarti ijma’ itu menjelaskan ‘illah dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash.
3.    Al-Ima’wa al-Tanbih, penyertaan sifat dalam hukum. Bentuk-bentuknya:
a.    Penetapan hukum oleh syar’i sesudah mendengar sesuatu sifat.
b.    Penyebutan sifat oleh syari’ dalam hukum memberi petunjuk bahwa sifat yang disebutkan bersama hukum itu adalah ‘illat untuk hukum tersebut.
c.    Pembedaan antara dua hukum disebabkan adanya sifat atau syarat atau ma’ani’ atau pengecualian; baik kedua hukum yang dibedakan itu disebutkan secara jelas atau hanya salah satunya yang disebutkan secara jelas, sedangkan yang satunya lagi dapat dipahami adanya.
d.    Mengiringkan hukum dengan sifat memberi petunjuk bahwa sifat yang mengiringi hukum itu adalah ‘illat untuk hukum yang diiringinya itu.
4.    Sahru wa Taqsim, secara harfiyah berarti memperhitungkan dan menyingkirkan. Adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalah ashal, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat; maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi ‘illat untuk hukum ashal tersebut.
5.    Takhrijul Manath, usaha menyatakan ‘illat dengan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriringan serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan.
6.    Tanqihul Manath, menetapkan satu sifat di antara beberapa sifat yang terdapat di dalam ashal untuk menjadi ‘illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya.
7.    Thard, penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian yang berarti.
8.    Syabah, sifat yang memiliki kesamaan. Terdiri dari 2 bentuk:
a.    Qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan; yaitu  menghubungkan furu’ yang mempunyai kesamaan dengan dua ashal, namun kesamaan dengan salah satu diantaranya lebih dominan dibandingkan dengan yang satu lagi.
b.    Qiyas shuri, mengqiyaskan sesuatu hanya karena kesamaan bentuknya.
9.    Dawran, sirkular. Adanya hukum sewaktu bertemu sifat dan tidak terdapat hukum sewaktu tidak ditemukan sifat. Hal ini memberi petunjuk bahwa sifat yang selalu mengikuti hukum itu adalah ‘illahnya.
10.    Ilghau al-Fariq, adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaannya
•    Pembagian Qiyas
1.    Dari segi kekuatan ‘illah yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illah yang terdapat pada ashal.
a.    Qiyas awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illah pada furu’.
b.    Qiyas Musawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum ashal karena kekuatan ‘illahnya sama.
c.    Qiyas Adwan, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memnuhi persyaratan.
2.    Dari segi kejelasan ‘illatnya
a.    Qiyas Jali, yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b.    Qiyas Khafi, qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya, diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan’illatnya bersifat dzanni.

3.    Dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum
a.    Qiyas Muatssir, qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’. Dan qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh terhadap ‘ain hukum.
b.    Qiyas Mulaim, qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4.    Dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu
a.    Qiyas Ma’na dalam makna ashal, qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun 
antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b.    Qiyas ‘Illat, yang ‘illahtya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
c.    Qiyas Dilalah, yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri; namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat.
5.    Dari segi metoda (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’.
a.    Qiyas Ikhalah, yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metoda munasabah dan ikhlah.
b.    Qiyas Shabah, yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c.    Qiyas Sabru, yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metoda sabru wa taqsim.
d.    Qiyas Thard, yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metoda thard.



Advertisment**
free SEO tools for blog and Website, Join For free now !LinkCollider - Free SEO Tools Plus Social Media Sharing

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Drs. H.A. DJAZULI, Dr. I. NUROL AEN, M.A.2000. USHUL FIQH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rahman, Dahlan, Abdul, Dr.H, MA. 2010. USHUL FIQH CETAKAN I.
Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir, Prof, Dr, H. 1997. USHUL FIQH JILID 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Team Muayawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. 2008. MODUL PEMBELAJARAN FIQIH. Sragen: Akik Pustaka.
Wahab Abdul, Khalaf, Syekh. 2005. ILMU USHUL FIKIH. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
   

0 comments:

Post a Comment